Kawasan pesisir Selat Malaka merupakan salah satu wilayah maritim yang paling padat lalu lintas kapalnya di dunia. Sebagai jalur perdagangan internasional utama, kawasan ini mengalami aktivitas pelayaran yang sangat tinggi dari berbagai jenis kapal, mulai dari kapal kargo, tanker minyak, hingga kapal penumpang. Aktivitas lalu lintas kapal yang intensif ini tidak hanya berdampak terhadap ekonomi dan perdagangan global, namun juga memberikan tekanan terhadap lingkungan pesisir, salah satunya dalam bentuk abrasi pantai.
Gelombang yang dihasilkan oleh pergerakan kapal, atau dikenal sebagai ship-generated waves, merupakan salah satu penyebab utama abrasi buatan di wilayah pesisir yang dekat dengan jalur lintasan kapal. Ketika kapal melintas dengan kecepatan tertentu, energi dari gerakan kapal memicu terbentuknya gelombang tekanan dan gelombang tarik yang menghantam garis pantai. Proses ini secara terus-menerus mengikis material pantai, seperti pasir dan tanah, sehingga menyebabkan berkurangnya daratan.
Abrasi pantai yang disebabkan oleh lintasan kapal biasanya bersifat lebih intensif dibandingkan abrasi alami, karena gelombang kapal dapat terjadi dengan frekuensi tinggi dan energi besar dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini diperparah oleh penggunaan kapal dengan bobot besar dan kecepatan tinggi yang menghasilkan gelombang besar dan turbulensi kuat di perairan dangkal dekat pantai. Di kawasan pesisir Dumai dan sekitarnya, fenomena ini mulai dirasakan oleh masyarakat lokal yang mengandalkan garis pantai untuk pemukiman dan mata pencaharian.
Pandangan ilmuwan menunjukkan bahwa interaksi antara gelombang kapal dan struktur geomorfologi pantai memainkan peranan kunci dalam menentukan tingkat abrasi. Huthoff dkk. (2005) mencatat bahwa gelombang kapal di perairan sempit cenderung menghasilkan tekanan hidrodinamik tinggi yang mempercepat erosi lateral pada tanah basah dan mangrove. Hal ini sangat relevan bagi ekosistem pesisir Selat Malaka yang banyak ditumbuhi hutan mangrove sebagai pelindung alami dari abrasi.
Penelitian oleh Yasser dan Mazi (2011) mengungkapkan bahwa gelombang kapal dapat menyebabkan perubahan pola arus mikro di sekitar pantai, yang kemudian mengganggu proses sedimentasi alami. Ketika laju sedimentasi tidak mampu mengimbangi laju erosi akibat gelombang kapal, maka abrasi akan semakin parah. Di beberapa wilayah pesisir Malaysia dan Indonesia, perubahan pola arus ini menyebabkan hilangnya puluhan meter daratan setiap tahunnya.
Pentingnya menjaga ekosistem mangrove sebagai pelindung dari abrasi juga ditekankan oleh Dahdouh-Guebas et al. (2005), yang meneliti peran akar mangrove dalam menyerap energi gelombang. Menurut mereka, hilangnya vegetasi pantai akibat pembangunan pelabuhan atau reklamasi meningkatkan kerentanan wilayah terhadap gelombang buatan dari kapal. Maka dari itu, perlindungan vegetasi alami harus dijadikan strategi utama dalam mitigasi abrasi.
Di sisi lain, kebijakan penataan lalu lintas laut juga dapat menjadi solusi jangka panjang. Peraturan mengenai zona kecepatan rendah (slow speed zones) di sekitar kawasan pesisir telah terbukti menurunkan dampak gelombang kapal terhadap abrasi. Wiegand et al. (2007) menunjukkan bahwa pengurangan kecepatan kapal di zona tertentu mampu menurunkan tinggi gelombang hingga 40%, yang secara langsung mengurangi intensitas abrasi pantai.
Masalah abrasi juga harus dipandang sebagai isu multidisipliner yang melibatkan aspek teknik sipil, ekologi, kebijakan kelautan, dan partisipasi masyarakat. Penelitian oleh Burcharth dkk. (2007) menyarankan pendekatan terpadu antara pembangunan infrastruktur pelindung seperti pemecah gelombang, rehabilitasi vegetasi pantai, serta pemantauan aktif terhadap lalu lintas kapal. Pendekatan ini dianggap lebih berkelanjutan dibandingkan sekadar membangun tanggul beton yang pada akhirnya merusak ekosistem.
Secara lokal, masyarakat pesisir Dumai dan sekitarnya telah mulai mengalami dampak nyata dari abrasi akibat lintasan kapal, mulai dari rusaknya tambak ikan, mundurnya garis pantai, hingga hilangnya lahan tempat tinggal. Hal ini menunjukkan urgensi bagi pemerintah daerah untuk melakukan kajian lingkungan menyeluruh dan melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk otoritas pelabuhan, dalam menyusun kebijakan pelayaran yang berwawasan lingkungan.
Dengan mempertimbangkan kompleksitas masalah dan dampaknya terhadap ekosistem serta kehidupan masyarakat pesisir, pengelolaan lalu lintas kapal di Selat Malaka harus memasukkan aspek perlindungan pantai dalam setiap perencanaannya. Kombinasi antara teknologi, restorasi alam, dan regulasi menjadi kunci utama dalam mengurangi abrasi dan menjaga keberlanjutan kawasan pesisir Selat Malaka untuk generasi mendatang.